Saturday, January 12, 2013

Kisah Tragis Oei Hui Lan – Putri Orang Terkaya di Indonesia


Penulis: Agnes Davonar
Penerbit: Intibook (Jakarta – 2009)
Halaman: 305 halaman


Buku ini merupakan biografi dari Oei Hui Lan, putri kedua dari Oei Tiong Ham, raja gula, kopra dan candu. Dengan gaya narasi dari sosok orang  pertama, Hui Lan bercerita tentang kisah kehidupan mewah sejak kecil yang dijalani di Semarang hingga menjadi seorang istri diplomat Cina.

Hui Lan lahir pada 1899 sebagai anak bungsu dari perkawinan Oei Tiong Ham dengan Goei Bing Nio. Mereka hanya memiliki dua orang putri sementara bagi orang Cina zaman itu, anak laki-laki melambangkan kesempurnaan wanita, dalam hal ini Goei Bing Nio, dalam satu keluarga utuh.

Sedangkan bagi Oei Tiong Ham, Hui Lan adalah anak kesayangan karena sejak putri kecil ini lahir , kehidupannya berubah menjadi jutawan kaya raya sejak lahir. Namun demikian, Oei Tiong Ham lahir dari keluarga cukup berada. Ayahnya yang bernama Oei Tjie Sien sudah termasuk orang kaya dengan memiliki bank kecil yang cukup untuk menghidupi keluarga.  

Dalam buku setebal 305 halaman ini, pembaca bisa menarik hikmah bagaimana uang bisa mengasah seseorang. Misalkan dengan kekayaan orang tua, Hui Lan bisa belajar dansa dan empat bahasa asing yang mengantarkan dirinya masuk ke kalangan elit Eropa.

Ini juga yang membuka kesempatan dia membawa diri sebagai istri diplomat Cina, Wellington Koo, yang pantas untuk tampil ke dunia internasional.

Namun di sisi lain, kekayaan juga tidak bisa membeli kebahagiaan. Hidup Hui Lan dan Tjong Lan, si kakak perempuan, juga penuh dengan konflik. Dari keinginan bebas, cinta hingga perselingkuhan. Ketika sang ayah tiba-tiba meninggal dan menyisakan warisan yang menjadi perebutan antara 8 istri dan 42 anak-anak. Warisan menjadi pertikaian antar keluarga besar yang harusnya guyub.

Buku ini mengalir, ringan, meskipun  ada kesalahan penulisan (typo) namun tetap menarik dibaca. Selain itu sebenarnya akan lebih baik jika ada pencantuman tahun pada beberapa fase kehidupan. Sebagai contoh ketika istri Oei Tiong Ham memutuskan pindah ke Eropa dan membawa kedua putrinya tinggal di luar negeri. Atau tahun perpindahan antar negara yang dialami Hui Lan mengikuti karir suami.

Dalam buku ini pembaca hanya bisa mereka-reka dengan kata kunci Perang Dunia I dan II, konflik Manchuria, era Soekarno dan Suharto. Akan tetapi jika lebih banyak lagi pencantuman tahun maka terasa menjadi lebih detil akan alur kehidupan wanita pencinta binatang ini di abad ke-20 yang penuh gejolak, dan sungguh dramatis membayangkan pada era pra kemerdekaan RI saja, Hui Lan sudah mewarisi uang senilai 15 juta dolar AS –sementara kakak perempuannya mewarisi 1 juta dolar AS dan ibu memperoleh 12 juta dolar AS dan ini di luar aset perusahaan dan kekayaan untuk para gundik dan anak lelaki di luar perkawinan sah- berdasarkan testamen ayahnya. Suatu angka yang tedengar fantastis dan membuat kita tersadar pada suatu era pernah terjadi orang dari Indonesia menjadi salah satu orang super kaya dunia.  (*)