Penulis: Agnes Davonar
Penerbit: Intibook (Jakarta – 2009)
Halaman: 305 halaman
Buku ini merupakan biografi dari Oei Hui Lan,
putri kedua dari Oei Tiong Ham, raja gula, kopra dan candu. Dengan gaya narasi
dari sosok orang pertama, Hui Lan bercerita
tentang kisah kehidupan mewah sejak kecil yang dijalani di Semarang hingga
menjadi seorang istri diplomat Cina.
Hui Lan lahir pada 1899 sebagai anak bungsu dari
perkawinan Oei Tiong Ham dengan Goei Bing Nio. Mereka hanya memiliki dua orang
putri sementara bagi orang Cina zaman itu, anak laki-laki melambangkan
kesempurnaan wanita, dalam hal ini Goei Bing Nio, dalam satu keluarga utuh.
Sedangkan bagi Oei Tiong Ham, Hui Lan adalah anak
kesayangan karena sejak putri kecil ini lahir , kehidupannya berubah menjadi
jutawan kaya raya sejak lahir. Namun demikian, Oei Tiong Ham lahir dari keluarga
cukup berada. Ayahnya yang bernama Oei Tjie Sien sudah termasuk orang kaya
dengan memiliki bank kecil yang cukup untuk menghidupi keluarga.
Dalam buku setebal 305 halaman ini, pembaca bisa
menarik hikmah bagaimana uang bisa mengasah seseorang. Misalkan dengan kekayaan
orang tua, Hui Lan bisa belajar dansa dan empat bahasa asing yang mengantarkan
dirinya masuk ke kalangan elit Eropa.
Ini juga yang membuka kesempatan dia membawa diri
sebagai istri diplomat Cina, Wellington Koo, yang pantas untuk tampil ke dunia
internasional.
Namun di sisi lain, kekayaan juga tidak bisa membeli kebahagiaan. Hidup Hui Lan dan Tjong Lan, si kakak perempuan, juga penuh dengan konflik. Dari keinginan bebas, cinta hingga perselingkuhan. Ketika sang ayah tiba-tiba meninggal dan menyisakan warisan yang menjadi perebutan antara 8 istri dan 42 anak-anak. Warisan menjadi pertikaian antar keluarga besar yang harusnya guyub.
Buku ini mengalir, ringan, meskipun ada kesalahan penulisan (typo) namun tetap menarik dibaca. Selain itu sebenarnya akan lebih
baik jika ada pencantuman tahun pada beberapa fase kehidupan. Sebagai contoh
ketika istri Oei Tiong Ham memutuskan pindah ke Eropa dan membawa kedua
putrinya tinggal di luar negeri. Atau tahun perpindahan antar negara yang
dialami Hui Lan mengikuti karir suami.
Dalam buku ini pembaca hanya bisa mereka-reka
dengan kata kunci Perang Dunia I dan II, konflik Manchuria, era Soekarno dan
Suharto. Akan tetapi jika lebih banyak lagi pencantuman tahun maka terasa
menjadi lebih detil akan alur kehidupan wanita pencinta binatang ini di abad
ke-20 yang penuh gejolak, dan sungguh dramatis membayangkan pada era pra
kemerdekaan RI saja, Hui Lan sudah mewarisi uang senilai 15 juta dolar AS –sementara
kakak perempuannya mewarisi 1 juta dolar AS dan ibu memperoleh 12 juta dolar AS
dan ini di luar aset perusahaan dan kekayaan untuk para gundik dan anak lelaki
di luar perkawinan sah- berdasarkan testamen ayahnya. Suatu angka yang tedengar
fantastis dan membuat kita tersadar pada suatu era pernah terjadi orang dari
Indonesia menjadi salah satu orang super kaya dunia. (*)